Thursday, October 28, 2010

Saya Jalang, lalu kenapa?

Hai, Tuan
Hai, Nyonya

Saya Jalang!
Suka bercinta!
Malang melintang!
Meski hanya berkutang!

Lalu Kenapa?
Hujatlah saya!
Silahkan saja!
Karena saya suka!

Benar, Saya Jalang!
Tapi punya rasa!
Tapi punya kata!
Tapi punya makna!

Lalu kenapa?
Cibirlah saya!
Seenak anda!
Karena saya bangga!

Tepat, Saya Jalang!
Pernah terbuang!
Layak diganyang!
Pantas dicela!

Lalu kenapa?
Hinakah saya?
Seperti anda?
Tidak, karena saya mencinta!

Ditulis oleh Puan

Gelas teh




Gelas teh kesayanganku terkoyak
Karena beberapa kali secara tidak sengaja aku senggol
Terjatuh
Kemudian terbanting

Gelas teh kesayanganku sebelumnya masih mampu bertahan
Meski retak, dan luka disana sini
Tetapi ia masih bisa berbentuk gelas, gelas kesayanganku!

Terakhir, karena sebuah kelalaian, aku menghempaskan gelas teh kesayanganku
Dan kali ini dia jatuh berderai
Aku terhenyak
Hening sekian lama
Berdiri mematung
Ini gelas teh kesayanganku, kebanggaanku, yang telah hampir 300 hari menemaniku minum bir di momen-momen hidupku
Dia tercerai berai
Tidak sanggup lagi bertahan
Meski aku segera memungut setiap pecahannya, dan bersumpah akan mencari lem super lengket untuk kembali merekatkan dia menjadi satu lagi
Menjadi gelas bir kesayanganku. Gelas kebanggaanku.

Tetapi ternyata gelas itu menyerah.
Dia menolak untuk direkatkan kembali.
Dia tidak ingin menjadi gelas teh kesayanganku lagi.
Karena aku lalai menjaganya.
Karena aku tidak menyentuhnya selayaknya benda kesayangan.

Dan dengan kedua tangan yang gemetaran
Menahan penyesalan hingga ke ujung tenggorok
Aku meletakkan semua kepingan gelas teh kesayanganku diatas pangkuanku
Menyentuhnya pelan dan merasakan pinggiran pecahan yang runcing menganga
Maafkan aku gelas. Telah membuatmu pecah berderai.
Pasti luka yang kutoreh akan membekas dalam.
Maafkan aku gelas. Aku lalai menjagamu dengan hatiku.


Nawi, 3 Juni 2010

Ditulis oleh: @rolrambutkoneng




Ludah



Menjilat ludah
Sudah dikerubungi lalat
Sudah bertaburan bakteri
Sudah menguap karena matahari

Terpicing mata
Menetaskan air liur
Ingin meludah lagi
Menahan sisa di tenggorok

Gelegak emosi didada
Menghitung napas satu-satu
Ketukan jantung tidak berirama
Yang ada hanya desah napas memburu

Bermain dengan analogi
Bermain dengan emosi
Bermain dengan satu juta satu ’andai’
Kali ini bermain dengan diri sendiri
Hingga tiba pada satu titik nadi

Menjilat ludah
Kali ini aku telan
Tidak ingin menebar kuman
Yang nantinya akan aku jilat lagi
Seperti biasanya

Menelan ludah
Meski pahit
Meski nyeri
Kali ini aku telan dan nikmati saja
Jika besok kiamat
Aku lega karena kali ini aku tidak kembali menjilat ludahku sendiri (lagi)


5 Juni 2010

Ditulis oleh @rolrambutkoneng